Penulis: Pdt.Dr.Hasiholan Sihaloho, M.Th., SH., MH. (Ketum Teologi Mandiri Indonesia)
Jakarta,Gemanusa7.id-Putusan hakim merupakan manifestasi tertinggi dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berfungsi
menegakkan hukum dan keadilan. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, setiap putusan pengadilan pidana wajib memuat frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 197 ayat (1) huruf a.
Frasa tersebut tidak hanya bersifat formal, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam karena menegaskan bahwa keadilan yang ditegakkan oleh hakim bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan yang menjadi dasar moral bangsa Indonesia.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menegaskan bahwa peradilan dilakukan “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” sehingga kepala putusan menjadi simbol kesatuan antara nilai moral dan norma hukum (UU No. 8 Tahun 1981; UU No. 48 Tahun 2009).
Dalam praktiknya, konsep keadilan berdasarkan Ketuhanan yang ideal sering kali berhadapan dengan realitas
sistem peradilan pidana yang berlapis. Sistem tersebut memungkinkan setiap putusan untuk dikoreksi melalui upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK) sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Kondisi ini menimbulkan paradoks: di satu sisi, frasa dalam kepala putusan menunjukkan finalitas moral dan religius, namun di sisi lain, mekanisme
hukum positif menunjukkan bahwa keadilan hakim masih bersifat relatif dan dapat dikoreksi.
Fenomena tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan antara norma ideal (das sollen) dengan kenyataan empiris (das sein), di mana keadilan yang seharusnya bersifat mutlak masih tunduk pada prosedur korektif sistem hukum (UU No. 8 Tahun 1981).
Berdasarkan kondisi tersebut, muncul gagasan perlunya reformulasi frasa kepala surat putusan pidana menjadi
“Demi Keadilan Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia.”
Usulan ini tidak dimaksudkan untuk
meniadakan nilai Ketuhanan dalam hukum, melainkan untuk menegaskan supremasi hukum positif sebagai dasar
operasional keadilan di Indonesia. Dalam konteks sistem peradilan yang memungkinkan banding, kasasi, dan PK, dasar keadilan yang diacu oleh hakim seyogianya bersumber dari norma hukum yang berlaku.
Perubahan ini diharapkan dapat memperjelas posisi hukum dan memperkuat asas kepastian hukum, tanpa menghilangkan nilai-nilai spiritual yang tetap menjadi panduan moral dalam penerapan hukum (UU No. 8 Tahun 1981; UU No. 48 Tahun 2009).
Pembahasan
- Urgensi Usulan Mengubah Bunyi Kepala Surat Putusan Pemidanaan
Kepala surat putusan pemidanaan memiliki kedudukan simbolik dan normatif yang penting dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa putusan hakim dijatuhkan atas nama nilai Ketuhanan, selaras dengan sila pertama Pancasila dan prinsip moral bangsa Indonesia.
Akan tetapi, dalam konteks sistem hukum modern yang menempatkan supremasi undang-undang sebagai
dasar legitimasi keadilan, muncul kebutuhan untuk meninjau ulang makna substantif dari frasa tersebut. Urgensi perubahan ini berangkat dari pandangan bahwa dasar keadilan yang dijalankan oleh hakim dalam praktik seharusnya bersandar pada norma hukum positif, bukan pada nilai teologis yang bersifat abstrak (UU No. 8 Tahun 1981; UU No. 48 Tahun 2009).
Selain itu, struktur sistem peradilan pidana Indonesia memungkinkan adanya koreksi terhadap putusan hakim
melalui mekanisme banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Hal ini menunjukkan bahwa keadilan yang ditegakkan oleh hakim bukanlah produk yang absolut, melainkan hasil dari proses hukum yang dapat diuji kembali melalui instrumen yuridis.
Dalam kerangka ini, penggunaan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menimbulkan
persoalan normatif karena berimplikasi pada kesan bahwa putusan hakim bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat, padahal sistem hukum membuka ruang koreksi. Oleh karena itu, urgensi perubahan redaksi kepala putusan menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia” menjadi penting agar sejalan dengan prinsip rule of law dan hierarki sistem peradilan berlapis (Rawls, 1999; Marzuki, 2017).
- Mekanisme Usulan Mengubah Bunyi Kepala Surat Putusan Pemidanaan
Perubahan bunyi kepala surat putusan pemidanaan merupakan suatu langkah yang berdampak langsung terhadap sistem hukum acara pidana, karena berkaitan dengan norma dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Oleh karena itu, mekanisme perubahan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia” harus ditempuh melalui prosedur perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perubahan norma hukum dalam KUHAP hanya dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden melalui mekanisme legislasi nasional. Hal ini berarti bahwa usulan perubahan bunyi kepala putusan harus terlebih dahulu dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai bagian dari prioritas perubahan undang-undang di bidang hukum acara pidana (UU No. 12 Tahun 2011; UU No. 13 Tahun 2022).
Langkah awal dalam mekanisme perubahan ini adalah penyusunan naskah akademik yang berfungsi sebagai
dasar ilmiah dan argumentatif untuk mengusulkan perubahan norma. Selanjutnya, mekanisme perubahan dilanjutkan pada tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) antara pemerintah dan DPR.
Selain mekanisme formal perubahan undang-undang, terdapat pula jalur non-legislatif yang dapat ditempuh
melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
- Kendala Dalam Mengubah Bunyi Kepala Surat Putusan Pemidanaan
Perubahan frasa dalam kepala surat putusan pemidanaan bukanlah perkara sederhana karena menyangkut aspek
filosofis, yuridis, dan ideologis dari sistem hukum Indonesia. Salah satu kendala utama adalah adanya pandangan bahwa
frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan manifestasi langsung dari Pancasila sila pertama dan nilai-nilai dasar konstitusional bangsa. Frasa tersebut dipandang sebagai simbol hubungan antara hukum dan moralitas Ketuhanan yang telah melekat dalam sistem hukum nasional sejak awal pembentukan negara.
Oleh karena itu, setiap usulan untuk mengubah frasa tersebut sering dianggap sebagai bentuk pelemahan nilai Ketuhanan atau bahkan
bertentangan dengan dasar negara. Secara filosofis, resistensi ini muncul karena hukum di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai produk rasional manusia, tetapi juga sebagai cerminan dari nilai-nilai spiritual bangsa yang berketuhanan (Marzuki, 2017; Soekanto & Mamudji, 2015).
Kendala berikutnya terletak pada aspek yuridis dan prosedural. Perubahan bunyi kepala putusan tidak dapat
dilakukan secara administratif oleh lembaga peradilan, melainkan harus melalui mekanisme perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Proses perubahan undang-undang memerlukan tahapan panjang mulai dari penyusunan naskah akademik, pengajuan rancangan undang-undang (RUU), pembahasan di DPR bersama pemerintah, hingga pengesahan dan pengundangan.
Proses tersebut membutuhkan waktu, sumber daya, dan dukungan politik yang tidak kecil. Dalam praktiknya, prioritas
legislasi nasional (Prolegnas) lebih banyak difokuskan pada isu-isu hukum yang bersifat strategis seperti pemberantasan
korupsi, revisi KUHP, atau penguatan kelembagaan peradilan. Akibatnya, usulan perubahan frasa kepala putusan sering
kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam agenda legislasi (UU No. 12 Tahun 2011; UU No. 13 Tahun 2022).
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Demikian penjelasan mengenai kesimpulan berdasarkan pembahasan sebelumnya, yaitu:
a.
Secara filosofis dan yuridis, frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pasal 197
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki nilai
historis dan moral yang kuat karena mencerminkan dasar Ketuhanan sebagai landasan etis sistem hukum
Indonesia. Namun, dalam konteks hukum modern dan sistem peradilan berlapis, frasa tersebut menimbulkan
ambiguitas normatif karena keadilan hakim yang bersumber dari nilai Ketuhanan tetap dapat dikoreksi melalui
mekanisme hukum positif seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
b.
Usulan perubahan bunyi kepala surat putusan pemidanaan menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan UndangUndang Negara Republik Indonesia” memiliki urgensi untuk menegaskan supremasi hukum positif sebagai
dasar operasional keadilan dalam praktik peradilan. Perubahan ini tidak menghapus nilai Ketuhanan, tetapi
menempatkannya secara proporsional sebagai fondasi moral, sementara undang-undang berfungsi sebagai
sumber legitimasi hukum yang rasional, objektif, dan dapat diuji melalui mekanisme yudisial.
c.
Mekanisme perubahan norma hukum tersebut harus ditempuh melalui jalur konstitusional, yakni revisi undangundang oleh DPR dan Presiden atau melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perubahan
ini menghadapi sejumlah kendala, antara lain resistensi filosofis dan kelembagaan, prosedur legislasi yang
panjang, serta persepsi sosial yang masih kuat terhadap makna religius keadilan. Oleh karena itu, proses
perubahan harus disertai kajian akademik yang komprehensif dan partisipasi publik yang luas agar dapat
diterima secara hukum dan moral.
2.
Saran
Demikian beberapa saran penelitian, sebagai berikut:
a.
Bagi pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah), sebaiknya melakukan kajian mendalam dan
menyeluruh terhadap relevansi frasa kepala putusan dalam KUHAP dengan perkembangan sistem hukum
nasional. Disarankan agar perubahan frasa dilakukan melalui proses legislasi yang transparan dan melibatkan
akademisi, praktisi hukum, serta lembaga keagamaan untuk menjaga keseimbangan antara nilai Ketuhanan dan
prinsip negara hukum.
b.
Bagi lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, direkomendasikan untuk
melakukan evaluasi internal terhadap implikasi praktis penggunaan frasa kepala putusan. Sebaiknya lembaga
yudikatif mempersiapkan pedoman atau kebijakan transisional apabila perubahan frasa tersebut disahkan, guna
memastikan keseragaman dan kepastian hukum dalam praktik peradilan di seluruh Indonesia.
c.
Bagi akademisi dan peneliti hukum, disarankan untuk memperluas kajian komparatif mengenai penggunaan
simbol keadilan dalam sistem hukum negara lain, serta menganalisis pengaruhnya terhadap legitimasi putusan
pengadilan. Kajian lebih lanjut mengenai relasi antara hukum positif, moralitas Ketuhanan, dan legitimasi
keadilan di Indonesia juga diperlukan untuk memperkaya wacana teoritik dan memperkuat dasar argumentasi
dalam pembaruan hukum nasional.
d.
Bagi masyarakat dan organisasi profesi hukum, sebaiknya turut berperan aktif dalam memberikan pandangan
dan masukan terhadap usulan perubahan ini. Disarankan agar setiap bentuk partisipasi publik diarahkan pada
pemahaman substansial mengenai makna keadilan dalam hukum positif, sehingga perubahan simbol hukum
tidak dipersepsikan sebagai pelemahan nilai religius, tetapi sebagai upaya memperkuat rasionalitas dan
kepastian hukum.
e.
Bagi lembaga pendidikan hukum, direkomendasikan untuk memasukkan isu reformulasi simbol hukum dan
keadilan ke dalam kurikulum pendidikan hukum nasional. Hal ini bertujuan agar generasi baru sarjana hukum
memahami hubungan yang seimbang antara Ketuhanan sebagai dasar moral dan undang-undang sebagai dasar
legalitas dalam penyelenggaraan peradilan yang adil dan berintegritas.
(Gn7.c-)
