Empat hari Jumat, 10 Oktober 2025
Jakarta,Ksaibata,Gemanusa7.comEmpat hari berlalu sejak Gerakan Peduli Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (GPPSDA-LH) melayangkan Somasi Terbuka kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, namun hingga kini belum ada satu pun tanggapan dari pihak gubernur.
Padahal, somasi yang diterima langsung oleh bagian Tata Usaha Kantor Gubernur, Kawasan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat pada Senin, 6 Oktober 2025 itu bukan sekedar surat administrasi, melainkan peringatan hukum, moral, dan konstitusional atas nama rakyat Jawa Barat dan seluruh bangsa Indonesia.
Meskipun GPPSDA-LH memberi tenggat waktu 30 hari kalender untuk menindaklanjuti somasi tersebut. Namun apabila Dedi Mulyadi merespon surat ini sebagai pembuka diawal, tentu publik akan melihat keseriusan pemimpin dalam menangani persoalan krusial sejak lama.
Tenggat waktu tersebut bukan formalitas, tetapi ujian moral pemimpin dan kenegaraan apakah Gubernur memahami tanggung jawab konstitusional dalam mengelola kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai mana pidato kenegaraan Presiden Prabowo terkait banyaknya kebocoran SDA, sehingga banyak rakyat kita yang miskin, dan ini menjadi keseriusan kita untuk memperbaikinya dengan sungguh-sungguh menegakkan rule of law tanpa tebang pilih.
Namun hingga kini Dedi Mulyadi diam, ini justru menimbulkan pertanyaan serius, apakah Pemerintah Provinsi sedang mengabaikan hak rakyat atas informasi publik atau sekedar menunggu tekanan politik sebelum bersikap.
Perlu ditegaskan, GPPSDA-LH bukan sekadar organisasi aktivis lingkungan hidup, tapi komponen civil society, unsur masyarakat sipil yang menjadi pilar utama dalam demokrasi modern. Dalam sistem politik yang sehat, civil society berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan (check and balance) terhadap negara dan korporasi, memastikan kebijakan publik dijalankan secara transparan, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Karena itu, langkah GPPSDA-LH melayangkan somasi terbuka kepada gubernur seharusnya tidak dipandang sebagai konfrontasi, tetapi manifestasi tanggung jawab moral masyarakat terhadap negara. Dalam demokrasi, suara rakyat tidak berhenti di bilik pemilu, ia terus hidup dalam partisipasi publik yang kritis dan konstruktif.
Civil society seperti GPPSDA-LH justru menjadi penjaga nurani konstitusi, terutama ketika kekuasaan berpotensi abai terhadap amanatnya.
Surat bernomor 005/SOMASI/GPPSDA-LH/X/2025 yang viral di berbagai platform sosial media itu menuntut keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan alam Jawa Barat. Dasar hukumnya ada pada Pasal 33 dan Pasal 28H UUD 1945, ditopang oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). PP No. 22 Tahun 2021 (turunan UU Lingkungan Hidup), khususnya tentang izin lingkungan dan tanggung jawab pemulihan pasca eksploitasi penambangan.
Namun realitasnya, publik Jawa Barat masih gelap informasi. Provinsi dengan potensi SDA besar mulai dari tambang, energi, air, hingga kehutanan dan pariwisata, belum memiliki laporan terbuka terkait nilai ekonomi, distribusi pendapatan, atau program pemulihan lingkungan pasca eksploitasi.
Situasi ini membuka ruang bagi penyimpangan kebijakan dan korupsi struktural, yang pada akhirnya merugikan rakyat.
“Sumber daya alam adalah hak rakyat, bukan milik segelintir pihak, bahkan tidak boleh diprivatisasi menjadi milik privat (pribadi)” tegas Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., Ketua Umum GPPSDA-LH.
Menurut Eggi, jika kini Gubernur Dedi Mulyadi disomasi, maka seharusnya ia mengikuti perintah Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisa ayat 135 dan Surah Al-Maidah ayat 8, apabila ia benar-benar beriman.
“Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa [4]: 135).
“Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)
Kedua ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah perintah ilahi, dan pemimpin yang beriman harus berani berlaku adil serta transparan, termasuk dalam mengelola amanat kekayaan alam yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Sejarah dunia mencatat banyak pemimpin besar tumbang karena mengabaikan suara masyarakat sipil, terutama dalam isu lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.
Contoh paling terkenal adalah jatuhnya Margaret Thatcher di Inggris pada 1990, yang salah satunya dipicu oleh protes besar-besaran terhadap kebijakan energi dan lingkungan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Kebijakan kontroversial “poll tax” dan privatisasi sumber daya publik memicu kemarahan kelompok civil society dan ekologis, yang kemudian menggerakkan gelombang perlawanan sosial hingga mengguncang kekuasaan.
Hal serupa juga terjadi di Chile pada 2019, ketika gelombang demonstrasi besar-besaran pecah akibat ketidakadilan ekonomi yang berakar dari eksploitasi sumber daya alam tanpa transparansi. Bahkan di Brasil, Presiden Jair Bolsonaro kehilangan kepercayaan internasional dan domestik karena mengabaikan krisis lingkungan di Amazon, yang dipicu oleh tekanan kuat dari organisasi civil society global.
Mengabaikan aspirasi organisasi lingkungan bukan hanya kesalahan politik, tapi juga kesalahan moral. Di era keterbukaan informasi, satu sikap abai terhadap transparansi bisa mengguncang legitimasi seorang pemimpin.
Dalam konteks Indonesia, sikap pasif Gubernur Dedi Mulyadi dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap arus perubahan politik nasional. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara, keterbukaan menjadi ukuran paling nyata dari integritas seorang pemimpin.
Menjawab somasi bukan berarti tunduk, tetapi menunjukkan kenegarawanan dan tanggung jawab publik.
Jika Dedi Mulyadi memilih untuk membuka data pengelolaan SDA dan berdialog dengan masyarakat, hal itu akan menjadi sinyal positif bahwa Jawa Barat siap menjadi contoh daerah yang transparan dan berpihak pada rakyat.
Sebaliknya, jika diam terus dipertahankan, ia justru menempatkan diri dalam posisi berseberangan dengan semangat konstitusi dan reformasi tata kelola SDA yang kini menjadi prioritas pemerintahan nasional.
Oleh: Agusto Sulistio – eks Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an, Pediri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor.
Kalibata, Jaksel, Jumat 10 Oktober 2025, 06:17 Wib. sejak Gerakan Peduli.
(Gn7.c-)