Gemanusa7.com-Debat kusir tentang “Whoosh” kata Laksamana Sukardi memang bisa diartikan multi tafsir. Mulai dari anggaran yang membengkak sebesar US$ 1,3 milyar dari anggaran awal sebesar US$ 6 milyar menjadi US$ 7,3 milyar. Artinya bisa diperkirakan minimal sebesar itulah anggaran yang digasak bersama entah oleh siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kata Laksamana Sukardi, pembengkakan nilai proyek sebesar 22 persen untuk proyek Mega jumbo ini mencerminkan kelemahan sejak awal perencanaan dilakukan. Sebab cost over run yang wajar maksimal 5 persen dari nilai proyek. Jadi memang patut diduga ada rekayasa imbuhan dibalik dana segede itu. Belum lagi penyelengaraan yang molor ikut meyakinkan kualitas manajemen resiko yang tidak beres.
Proyek kereta cepat Jakarta Bandung ( KCJB) yang tidak secepat janjinya untuk melesat cepat ini ingin mengusung penumpang yang gemar dimanjakan justru mengalami peningkatan biaya dan keterlambatan penyelesaian tanpa jelas sanksinya — sehingga uang proyek yang mengendap di bank bisa dinikmati anak-pinak keturunannya seperti mereka yang mengantongi uang ekstra yang berceceran dari proyek cepat yang justru banyak terlambatnya itu.
Pilihan jalur yang memerlukan Viaduk terowongan dan jembatan yang panjang 62 persen dari total lintasan, terkesan tidak masuk pertimbangan, mungkin karena ingin memperoleh harga pembebasan lahan yang lebih murah, agar sisanya dapat dikantongi juga untuk menambah jumlah hasil yang telah dikantongi sebelumnya.
Padahal di Stadiun Awal KCJB Halim Perdana Kesuman menggunakan lahan milik negara — yang tak jelas juntrungan — proses dan penggantian dari lahan milik negara tersebut. Boleh jadi nilainya ada, tapi tidak pernah masuk atau dilaporkan untuk kass negara.
Menurut Laksamana Sukardi yang cukup paham tentang teknik konstruksi bangunan untuk pekerjaan sipil menghabiskan dana US$ 3,3 milyar atau Rp 54,9 triliun atau sebesar 45 persen dari total nilai proyek. Seperti untuk 13 terowongan dengan panjang total 16,3 Km. Sedangkan untuk Viaduk (jembatan dan peninggian elevasi jalan kereta api) sepanjang 87, 6 Km dari total lintasan sepanjang 142, 3 Km.
Dari informasi yang diperoleh, kesulitan dalam pembebasan lahan juga menjadi penyebab molornya penyelesaian proyek, karena biaya pembebasan lahan menjadi sebesar US$ 584 juta atau Rp 9,7 triliun atau sebesar 8 persen dari total biaya proyek KCJB. Akibatnya menambah bunga berjalan atau yang dikenal dengan istilah interest during construction sebesar US$ 876 juta atau Rp 14,6 triliun atau 12 persen dari total biaya proyek.
Kekhawatiran serta kecurigaan adanya korupsi di proyek KCJB merupakan hal yang wajar, kata Laksamana Sukardi. Maka itu perlu diinvestigasi, apakah ada ‘middle man’ atau makelar dalam proses pembebasan tanah termasuk yang ada di kawasan Hakim Perdana Kesuman yang sejak awal telah membuat kecurigaan dengan cara main keruk, seperti yang diungkap Laksana Agus Supriyatna saat menjabat Kepala Staf Angkatan Udara ketika peristiwa keculasan itu terjadi.
Idealnya, menurut Laksamana Sukardi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) sudah harus melakukan audit. Tapi sampai berita ini ditulis tak juga jelas juntrungannya, atau memang sudah masuk angin juga seperti mereka yang lain itu.
Pada akhirnya, pihak Indonesia — pengelola KCJB harus menanggung suku bunga 2 sampai 3 persen per tahun yang tidak banyak berbeda dengan pinjaman komersial mata uang Yuan dari perbankan China. Meski sudah mendapat subsidi dari CDB nilainya tetap lebih tinggi dari apa yang diusulkan oleh Overseas Development Agency (ODA) Jepang dalam bentuk mata yang Yen.
Pilihan keputusan pihak KCJB untuk memilih China — daripada Jepang — karena adanya sjena B to B (Business to Business) yang diterima oleh PT. KACIC dengan saham BUMN 60 persen dan China 40 persen. Jadi pemerintah Indonesia tidak ikut bertanggung jawab atas pinjaman hutang tersebut. Inilah alasan Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa ogah menanggung hutang KCJB itu dengan duit dari APBN. Namun Presiden Prabowo telah siap mengambil alih Kadus KCJB dan tanggungan hutang KCJB yang meledak dan meletup itu, sehingga bisa menyeret sejumlah pejabat dan mantan pejabat yang ada di negeri ini.
Jadi jelas menurut Laksamana Sukardi pun — yang sepakat dengan pendapat serta sikap Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap hutang KCJB tersebut. Tapi untuk menambah hutang baru yang digelontorkan oleh China Development Bank kepada PT. KACIC sebesar US$ 2,73 milyar dengan mata uang Yuan CNY 11,48 milyar setara dengan US$ 1,62 milyar. Pendek kata , jumlah hutang KCJB atau PT. KACIC bertambah akibat pembengkakan biaya sebesar US$ 1,2 milyar. Artinya, total hutang KCJB dengan pihak China menjadi US$ 5,5 milyar.
Jadi, atas dasar jaminan pemerintah Indonesia seperti diatur oleh Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Keuangan pada tahun 2023 menerbitkan surat jaminan pemerintah terhadap pinjaman KCJB atau PT. KACIC, sehingga Skena business to Business berubah menjadi Government to Government, hutang yang mendapat jaminan dari negara. Lalu bagaimana dengan pernyataan Menkeu yang ogah membayar hutang KCJB dengan duit dari APBN ?
Sungguhkah Purbaya Yudhi Sadewa tidak paham Ikhwal keterlibatan Menkeu sebelumnya yang ikut mm menyetujui hutang KCJB atau PT. KACIC itu ketika menerima warisan dari Menkeu sebelumnya ?
Sungguhkah Purbaya Yudhi Sadewa ceroboh seperti itu, tidak mengetahui persetujuan Menkeu sebelumnya atas hutang KCJB atau PT. KACIC ini ? Atau sekedar cari sensasi untuk mendulang citra di tengah hasrat warga masyarakat yang harus gebrakan untuk membenahi negeri ini.
Atau, Pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa yang garang menyatakan tak hendak membayar hutang KCJB atau PT. KACIC itu dari uang APBN sebagai bukti dari tidak tidak adanya koordinasi antara Menkeu dengan Presiden yang lantang menyuarakan siap untuk membayar hutang KCJB atau PT. KACIC yang cukup besar dan memberatkan beban ekonomi di negeri ini.
Pecenongan, 13 November 2025/Gn7.c-)
