Gemanusa7. com-Diskusi rutin mingguan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) setiap Kamis-Senin, 23 Oktober 2025 langsung menukik pada gebrakan Menteri Ekonomi Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa yang sangat dikhawatirkan cuma sekedar propaganda semata, karena apa yang dijanjikan belum berwujud nyata, seperti penolakan untuk membayar hutang Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, dan realisasi penangkapan para penjahat di Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai.

Karena itu perlawanan terhadap aparat yang jahat tidak berpihak pada rakyat — mulai dari hambatan terhadap RUU Perampasan Aset oleh DPR RI dan mengurangi semua fasilitas untuk pejabat yang berlebihan serta mengendapnya dana di perbankan yang tidak dimaksimalkan peruntukannya — menjadi harapan bagi masyarakat untuk segera diwujudkan.

Pendek kata, penyelenggaraan tata kelola keuangan negara yang berasal dari rakyat dapat segera diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan evaluasinya terhadap harga BBM di Indonesia yang terlalu mahal pun, diharap dapat segera dilakukan agar dapat lebih meringankan beban rakyat, termasuk harga gas LPG dan listrik dan air diharap dapat lebih murah sehingga bisa meringankan beban ekonomi rakyat.

Kajian diskusi pun terus meluas ke ending dari hasil Reformasi Polri yang telah diwacanakan untuk dievaluasi mulai dari struktur hingga kultur yang sudah dianggap terlanjur mengakar dalam institusi Polri. Setidaknya, fenomena Purbaya Yudhi Sadewa tidak sampai mengaburkan harapan rakyat dari hasil Reformasi Polri yang ideal seperti keinginan rakyat. Bersih, dan serius menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat sesuai dengan janji dan sumpah dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam proses reformasii Polri secara menyeluruh dan komprehensif perlu diikutsertakan agar capaian reformasi dapat maksimal memberi manfaat bagi rakyat.

Yang menarik, pengaruh Mataram Islam hingga Mataram kuno dianggap perlu menjadi bahasan untuk mengungkap kehadiran “Kitab MA HA IS MA YA” yang akan segera dilaunching dalam waktu dekat, besar kemungkinan akan menjadi semacam persembahan kepada kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dimotori oleh Guntur sebagai bagian dari kerabat Pura Paku Alam, Ngayogyakarta Hadiningrat.

Konsepsi Surya Binangu dalam tradisi dan falsafah Jawa merujuk pada tata nilai kepemimpinan ideal yang bersumber dari kosmologi dan spiritual khas Jawa. Karena konsepsi Surya Binangun dapat dimaknai sebagai kekuasaan atau kepemimpinan yang dibangun atas nilai-nilai luhur yang ada dalam hampir seluruh budaya lokal suku bangsa Nusantara yang kini bersepakat menjadi satu Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pada hakekat, makna dari Surya Binangun itu meliputi kepemimpinan yang berporos pada etika, moral dan akhlak mulia manusia sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi. Sehingga seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan kekuasaannya belaka, tetapi menjadikan nilai-nilai kebaikan, welas asih, dan kebijaksanaan sebagai dasar dalam bertindak.

Oleh karena itu, keseimbangan antara langit dengan bumi — makrokosmos dan mikrokosmos — bisa selaras dengan hukum alam serta kehendak ilahi untuk menjaga tatanan yang harmoni antara rakyat, alam dalam dimensi spiritual yang senantiasa terpusat kepada Sang Pencipta jagat raya ini. Sementara Joyo Yudhantoro justru mengakui apa yang bisa dia lakukan selama ini, hanya sebatas kesaksian semata terhadap banyak peristiwa yang bernilai sejarah dan spiritualitas, namun belum terbukukan, seakan sedang membuat satir untuk sejumlah karya tulis Jacob Ereste, yang tak kunjung terbit itu.

Namun yang tidak kalah penting, intisari dari pemaknaan Surya Binangun tadi itu adalah kesadaran dari sosok seorang pemimpin terhadap dharma — sebagai wujud pengabdian yang nyata seperti pemahaman terhadap esendi ibadah — sehingga kesadaran seorang pemimpin tidaklah menjadi absolut, tetapi tetap sebagai pelayan bagi rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab moral dan sosial untuk senantiasa mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat.

Kecuali itu, pemimpin yang sehati dalam pemaknaan Surya Binangun itu, menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu adalah transformatif, tidak eksploitatif dalam membangun peradaban, bukan memperalat jabatan dan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Dan dalam konteks budaya keraton — Yogyakarta maupun Surakarta — esensi dari Surya Binangun menjadi semacam legitimasi kekuasaan yang dibangun secara sakral dengan tetap memenuhi kriteria etika, moral dan akhlak yang dapat ditakar oleh nilai-nilai sosial yang universal sifatnya. Jadi intinya, konsepsi Surya Binangun adalah model kepemimpinan yang sakral, etis bermoral dan berbasis pada pengabdian, bukan semata-mata sekedar kekuasaan administratif atau politis yang mengedepankan kepentingan pribadi, kelompok tertentu atau kroni atau nepotisme.

Pecenongan, 23 Oktober 2025/Gn7.c-

By Admin7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *