Gemanusa7. com-Kesadaran dan pemahaman spiritual itu bisa muncul dari rasa syukur yang paling sederhana, seperti menikmati kentut yang enak dan melegakan, seperti habis membuang hajat air sungai yang deras, mengalir dengan menggelontorkan kotoran itu untuk di lahap ikan di muara sungai yang disambut samudra luas yang lepas entah dimana tepiannya.

Sehingga misteri kotoran yang terhanyut itu pun mempunyai misteri yang tak terlalu penting untuk dipikirkan, cuma bisa saja untuk sekedar menjadi bahan perenungan. Jika hidup manusia itu sendiri pun, acap seperti itu adanya, tak terduga hingga harus sampai di suatu tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Permenungan serupa itu sempat menjadi bahasan selingan Karto Glending saat sungguh ke rumah yang sangat sederhana. Tidak ada bedanya dengan rumah rakyat kebanyakan. Sehingga banyak sahabat dan kerabat yang datang acap mencangking berbagai ragam kesukaanku yang paling utama seperti buku dan sejenis bacaan lainnya. Hingga terkesan, mereka yang datang itu dengan seabrek buku dan beragam jenis bahan bacaan yang mereka kira pasti aku suka, seakan sedang memberi tugas baru untuk dibaca dan kemudian dijelaskan, setidaknya dapat dijadikan bahan rujukan tulisan.

Tapi masalahnya, sahabat dan kerabat yang hilir mudik rutin menyambangi tempat tinggalku semakin tahu persis riwayat kemiskinan yang acap mereka duka memang sengaja dipelihara. Seakan-akan, aku sendiri tidak pernah mengkhayalkan hidup enak dan nyaman penuh ketenteraman serta kegembiraan sebagaimana umumnya manusia yang normal. Karena itu mereka pun kaget ketika ngobrol tentang kendaraan roda empat yang paling ideal itu adalah sejenis jib bersasis panjang hingga bisa dibawa masuk ke pelosok desa yang paling ekstrem rute perjalanannya.

Hidup di desa pun bagian dari pilihan sikap citaku yang mungkin memang bawaannya “kampungan”. Sebab suasana ladang yang menghijau dan lebat dengan buahnya, cukup banyak memberi inspirasi permenungan yang lebih substantif sifat maupun iradatnya, sehingga dalam penerawangan pemikiran acap jauh tersuruk merenungkan betapa dahsyat dan Maha Kuasanya Sang Maha Pencipta, sehingga dari dahan pepohonan itu bisa muncul putik bunga yang bisa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan manusia.

Begitulah proses permenungan yang membawa diriku dengan cara yang paling sederhana memasuki wilayah pengembaraan spiritual yang lahir secara spontan, tanpa pernah bisa dapat sepenuhnya dikendalikan, sehingga membuka kesadaran lebih jauh mengenai Kuasa Tuhan atas diri manusia yang sesungguhnya tidak memiliki otoritas mutlak terhadap dirinya sendiri, seperti keinginan untuk kentut sekalipun yang tidak bisa dikendalikan. Demikian juga sebaliknya — ketika rasa ingin kentut selalu tertunda — mungkinkah manusia akan mengajarkan Tuhan ?

Monolog-monolog sederhana serupa inilah yang acap mengambil peran dalam penulisan tentang gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang mungkin dianggap oleh banyak orang tidak terlalu penting, meski realitasnya mampu menghantarkan diri pada kesadaran dan pemahaman bahwa misteri yang mampu diketahui oleh manusia itu terlalu sedikit untuk dibandingkan dengan misteri yang dimiliki oleh Tuhan. Persis seperti ke-maha segalanya yang menjadi Kekuasaan Tuhan.

Dalam proses seperti itulah tahapan dalam melakukan puasa bisa dipahami makna lapar itu sebetulnya sebagai bagian dari isyarat Keberadaan Tuhan atas segala Kuasa dan kasih-Nya yang tidak terhingga. Sebab, bagaiman jadinya bila seseorang tidak lagi memiliki rasa lapar dan hasrat ingin makan setelah menunaikan puasa wajib atau puasa sunnah itu ?

Apalagi perambahan pengembaraan kecerdasan spiritual terus berlanjut sampai kepada nasib dan suratan hidup yang penuh misteri, tanpa pernah dapat direkayasa sepenuhnya oleh manusia itu sendiri untuk dirinya, apalagi bagi orang lain. Seperti anak dan cucu misalnya yang lebih jauh berjarak dari kita sendiri. Maka itu, ketika mereka tumbuh sempurna atau bahkan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu — seperti genius dan tangkas dengan paras yang cantik atau tampan, mengapa harus dan berada berkewajiban untuk tafakur syukur, misalnya dalam beberapa tradisi suku bangsa kita di Nusantara melakukan syukuran khusus, sebagai ekspresi dari apresiasi terhadap rahmat dan karunia Tuhan.

Jadi dalam tradisi dan budaya suku bangsa Nusantara yang kini telah bersatu menjadi Indonesia raya — sungguh kaya nilai spiritual yang dapat menjadi modal — energi bangsa — Indonesia untuk menjadi pelopor dan sentral gerakan dari kebangkitan serta kesadaran spiritual yang diperlukan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia yang baik, sejahtera dan berkeadilan. Sebab semula masalah — utamanya korupsi dan kezaliman serta kesewenang-wenangan bermula dari pengabaian terhadap etika, moral dan akhlak manusia yang harus dijaga sebagai pijakan dalam semua tindakan. Karena masalah politik, ekonomi dan sosial budaya yang buruk, tidak bisa dibenahi dengan basis politik, ekonomi maupun sosial dan budaya yang sudah rusak, tak karu-karuan bentuk dan prakteknya di negeri kita sekarang.

Begitulah nasehat Karto Glinding untuk membenahi negara dan bangsa Indonesia, harus berpihak pada etika, moral dan akhlak mulia manusia yang sadar sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi. Jadi penegasan untuk pembenahan itu pun harus dimulai untuk negara, baru kemudian menyusul pembenahan untuk bangsa. Karena bangsa — yang terdiri dari rakyat tiada kuasa karena telah memberikan mandat dan amanahnya kepada negara, harus lebih utama dibenahi, tata kelola dan pelaksanaannya yang terukur dan terawasi dengan disiplin yang ketat dan harus selalu dievaluasi oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini.

Banten, 15 Juli 2025/Gn7-

By Admin7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *