Gemanusa7. com-Awal tahun 1990-an sebagai aktivis juga jurnalis mendapat undangan mengikuti pertemuan tokoh dari sekitar 142 negara masing-masing diwakili oleh dua orang peserta. Hanya saja dari Indonesia karena tidak mampu menyediakan dana talangan yang kelak akan diganti semua oleh pihak panitia pengundang — ICFTU (International Confederation Trade Union) satu-satunya peserta dari Indonesia cuma bisa diwakili oleh seorang saja.
Tapi ketika sampai di Belgia — pusat pertemuan internasional itu — setelah mendarat di Frankfurt dari Bandara Cengkareng Tangerang, Banten dengan transit satu jam di Singapura — sudah banyak bahan tulisan yang perlu ditulis dengan pendahuluan catatan kecil agar kelak hendak ditulis bisa lebih gampang diuraikan. Dan sebagai aktivis tulen khas Indonesia yang ngopi dan merokok cukup kuat, satu jam waktu transit di Singapore sungguh sangat terasa membosankan. Karena itu, dengan gaya dan pembawaan yang masih khas “kampungan”, celingak-celinguk untuk mencari tempat yang enak ngopi dan merokok masih dianggap biasa untuk dilakukan sambil menyulut sebatang rokok terus berjalan di sepanjang koridor Bandara Changi, Singapore yang sungguh menakjubkan itu. Maklum saja ada semacam keyakinan bahwa Bandara Suta di Cengkareng, Tangerang seakan menjadi satu-satu Bandara termegah di dunia ketika itu.
Sambil mengintip pemandangan disekitar Bandara Changi yang langsung menghadap ke laut itu dalam bentuk bangunan setengah melingkar seperti tampak kuda, sekonyong-konyong seorang Polusi setempat menghampiri dengan memberi peringatan bahwa di kawasan Bandara secara umum tidak boleh merokok. Maklum ketika itu soal larang melarang merokok di tempat umum belum begitu populer hingga ke berbagai negara mana pun, seperti yang belum berlaku umum pula di Eropa.
Yang terkesan dari teguran sang Polisi itu dia sangat sopan dan santun, seakan memperlakukan sangat manusiawi. Dia hanya berkata, bahwa di tempat umum ini tidak boleh merokok. Jika Bapak masih mau merokok di langsung menunjuk sebuah bilik yang telah disediakan untuk semua orang yang ingin merokok.
Lalu Polusi itu pun bersedia mengantar ke bilik tempat semua orang yang mau menikmati rokoknya. Dia pun, meminta untuk sementara waktu berjalan menuju bilik itu, memohon rokok yang sudah terlanjur disulut dan dinikmati itu untuk sementara dimatikan dahulu.
Sebetulnya, bagi semua orang yang bukan pendatang atau pentransit bisa langsung dikenakan tilang, katanya memberi penjelasan.
Saya pun terjagum takjub, sambil sekilas membayangkan perlakuan Polisi di kampung saya — Indonesia — yang langsung menindak, baru kemudian mengungkapkan kesalahan yang mungkin sudah kita lakukan. Tapi dalam perlakuan Polisi Singapore — kelak ada juga pengalaman dengan Polisi Kota Belgia — mereka terlebih dahulu melakukan upaya pencegahan, tidak seperti Polisi yang menunggu para pemotor naik di play over daerah Pesing, Jakarta Barat atau di jalan Pemuda, Jakarta Timur pada masa awal play over itu bisa dimanfaatkan, justru adanya sikap kesengajaan untuk membiarkan para pemotor itu naik terlebih dahulu, sehingga saat di pintu penurunan play over itu dilakukan penangkapan, damai atau penilangan.
Agaknya, inilah yang dimaksud dari para penggagas dan pejuang reformasi Polri perlu melakukan secara menyeluruh, bukan hanya sebatas struktur dari organisasi Kepolisian yang sudah terlalu banyak mengurus berbagai masalah — SIM, STNK, SKKB, Narkoba, Teroris dan sebagainya hingga melupakan fungsi dan perannya sebagai pengayom, pelindung dan pelayanan untuk masyarakat yang wajib dan harus dilaksanakan, tapi justru sibuk melakukan penyitaan kendaraan yang ujungnya kemudian banyak dipakai untuk oknum polisi dalam kegiatan pribadinya sehari-hari.
Karena itu ada baiknya juga dalam rangkaian reformasi Polri bisa juga ditertibkan pemakaian kendaraan sitaan oleh personil Polri yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan itu. Andai saja mau digeledah, berapa banyak seorang oknum polisi yang memanfaatkan sejumlah kendaraan atau barang sitaan itu, karena memang tidak pernah tercatat menjadi harta benda milik negara.
Reformasi struktural dan kultural yang perlu dilakukan terhadap polri untuk memulihkan kembali kepercayaan rakyat, sungguh sulit dan rumit. Itulah sebabnya, polri perlu diurai kegemukannya, seperti Satnarkoba berada di bawah BNN, urusan lalu lintas diberikan sepenuhnya kepada LLAJR atau Kementerian Perhubungan Darat. Dan Perbungan laut berada dalam pengawasan Angkatan Laut dan seterusnya, agar Kepolisian dapat konsentrasi pada bidang keamanan saja, tidak terlalu berat dibebani oleh berbagai fungsi dan tugas yang sulit diwujudkannya.
Kisah perjalanan di berbagai negara Eropa, memang jika ke datangan dari Asia umumnya mendarat di Bandara Frankfurt, Jerman lalu meneruskan penerbangan dengan pesawat kecil seperti angkot dari Frankfurt ke Belgia. Dan umumnya ketika itu semua bandara di Eropa tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Karena yang untuk bandara Frankfurt yang terbilang mewah pun — karena terklarifikasi sebagai bandara internasional — wow, sungguh sulit untuk disebut lebihi baik dari bandara Adi Sucipto, Yogyakarta atau bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur.
Sebagai orang kampung yang sangat penasaran untuk mengetahui kehebatan bangsa dan negara Eropa dan sekitarnya, maka begitu selesai membereskan urusan administrasi dan memperoleh sejumlah fasilitas — mulai dari kartu telepon ketika itu belum cukup ramai memiliki dan menggunakan gand phone genggam hingga tiket bus dan kereta seperti yang baru saja dilakukan di Indonesia setelah tahun 2.000-an, karena waktunya masih pagi dan hari Sabtu — saat semua warga bangsa Eropa menikmati hari libur akhir pekan — maka dendam sosial sebagai orang kampung pun terus melakukan penjelajahan, ini pun tidak hanya digerakkan oleh intuisi sebagai aktivis, tapi juga lantaran naluri jurnalis yang sudah terpatri sejak pertengahan tahun 1870-an semasa di Lampung dan ketika ngendon lama menjadi mahasiswa terbilang paling abadi di dunia, sebab masa bilangan masa studi di perguruan tinggi ketika itu, mungkin belum ada yang memecahkan rekor lebih dari 14 tahun.
Jadi acara bertualang di Eropa pun dimulai pada Februari 1994 untuk sekian lama hingga memperoleh kesempatan istimewa untuk tidak hanya mempelajari masalah perburuhan, tetapi juga masalah petani Eropa yang merasa begitu bangsa untuk menyebut dirinya sebagai petani, meski belum juga bisa dikatagorikan petani yang besar. Karena cuma menggarap lahan milik sendiri tidak lebih dari 6 hektar.
Acara perjalanan di kota Belgia yang diselingi acara picnik sejak pagi hari terus berlangsung hingga menjelang pukul 10.00 malam waktu setempat. Karena itu dalam kegundahan dan kerisauan untuk kembali ke Ter-Not, dimana dormitori para hadirin dan undangan disediakan panitia, dari sebuah pos polisi yang kecil — tak lebih hanya bisa ditempati oleh dua orang personil — satu diantara polisi itu menghampiri posisi orang kampung yang lagi clingak-clinguk setengah kebingungan dan cemas untuk mendapatkan bus angkutan untuk kembali ke Ter-Not yang berada sekitar 40-an kilometer dari pusat kota Belgia.
Sapaan sang polisi yang menghampiri itu terkesan sangat lembut dan akrab penuh rasa persahabatan. Dia pun langsung menawarkan apa yang bisa dia lakukan. Lalu dia pun memastikan bila wajah kampungan saya memang baru saja datang di negerinya.
Dari dialog antara kami yang langsung akrab — meski masih sama-sama totok dengan logat dan bahasa Ibu masing-masing yang medok, dia pun paham bahwa penulis adalah tamu dari sebuah organisasi yang cukup bergengsi di negeranya. Polisi itu langsung semakin akrab dan segera menawarkan rokok, karena dia tahu persis kondisi cuaca yang semakin mendingin dan beberapa saat kemudian akan turun salju.
Karena itu, jika saya nanti tidak mendapat tumpangan bus untuk kembali ke dormitori persinggahan semua tamu ICFTU itu, dia menyatakan siap untuk mengantar sampai ke tempat tujuan. Sebab bila terjadi hujan salju, dia pastikan diri saya akan mengalami kesulitan atah bahkan bisa menjadi malapetaka, ujarnya sambil menyalakan rokok yang hendak saya nikmati dari pemberian polisi yang baik ini.
Tawan untuk dia hantar pulang tentu saja saya tolak, karena ada alternatif lain — kalau saya mau berjalan beberapa blok ke arah utama — di jalur ini lebih banyak kendaraan yang lalu lalang termasuk menuju Ter-Not, suatu daerah terpencil jauh di luar kota, namun sungguh ideal untuk tempat pertemuan, kajian dan workshop untuk mendiskusikan berbagai masalah yang dapat diimplementasikan sebagai sebuah program untuk kesadaran dan pemberdayaan rakyat.
Pengalaman dari pertemuan dan dialog bersama sosok seorang polisi di Belgia ini pun — terasa memiliki nilai dan nuansa spiritual yang mengagumkan. Bagaimana ekspresi dari wajah sosok seorang polisi di negeri orang ini, bisa terkesan seperti malaikat penolong yang belum pernah terjadi, namun sangat terasa dan terkesan begitu indah dan mengagumkan. Sehingga untuk membayangkan pelayanan dari pihak kepolisian di Jakarta — termasuk di Bandara Cengkareng, Banten ketika kita memerlukan atau pelayanan yang selayaknya harus mereka lakukan, yang terjadi cuma bisa menarik nafas panjang berulang kali, sambil mengurut dada, agar bisa lebih bersabar.
Catatan sekelumit pengalaman yang mungkin tidak terlalu penting ini, diharap bisa ikut menjadi sandingan, sekedar referensi untuk melakukan reformasi Polri yang diharap serius untuk dilakukan di Indonesia agar tidak justru menjadi atau menambah beban bagi warga masyarakat untuk berkiprah dan membangun republik ini agar dapat lebih baik dan dapat lebih bermartabat.
Serpong, 15 Oktober 2025/Gn7.c-