Gemanusa7. com-Mengikuti perjalanan spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu setidaknya sudah, bisa dianggap aktif dan intens sejak tahun 2019, jadi sudah 6 tahun kepungkur istilahnya dalam bahasa Jawa. Meski Sri Eko Sriyanto Galgendu sendiri sudah saya kenal sejak antara tahun 2012 atau 2013 pada tahun awal membuka usaha rumah makan yang kini beken merek dagangnya dengan sebutan “Ayam Ancuur” (double u) dan “Soto Gubeng” yang gurih dan juga sedap cita rasanya dengan bermarkas di Jalan Ir. H. Juanda No. 5 dan 4 A, Jakarta Pusat. Artinya, ibarat berkebun kelapa sawit, dalam usia 6 tahun sampai 2025 ini, selayaknya sudah panen raya hasilnya. Tapi pengembaraan spiritual tentu saja tidak bisa dikalkulasi seperti berkebun kelapa sawit. Sebab yang disemai dalam jagat spiritual adalah budidaya batin atau jiwa yang tidak ada dalam logartma dan bilangan matematika atau bahkan semacam ilmu diferensial serta ilmu integral seperti yang diperlukan di fakultas teknik sipil dan sejenisnya.

Kalau pun harus dibilang dengan angka, maka sejak tahun 2019 hingga 2025 — selama enam tahun itu — jika bisa dikatakan rata-rata menuliskan tentang kesaksian dari perjalanan spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu tiga buah tulisan dalam seminggu, maka selama 6 tahun mengikuti perjalan spiritual sosok yang kini dikenal sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara atau Wali Spiritual Indonesia yang telah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan itu — minimal dari relasi dan jaringan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang dia terima dari Gus Dur dan Susuhunan Paku Buwono XII dalam bentuk surat wasiat yang terdaftar di akte notaris — kini memiliki jaringan yang cukup luas mulai dari kalangan tokoh lintas agama, kaum intelektual yang terhimpun dalam Forum Negarawan serta Forum Indonesia Damai, bahkan komunitas kalangan Sultan dan Ratu se Nusantara, sungguh sangat solid dan kuat terjaga sampai hari ini, setidaknya seperti telah dibuktikan saat acara pembacaan do’a untuk 79 orang tokoh yang berasal dari berbagai kalangan dengan tampilan pembacaan di’a dalam bahasa bumi selama 29 jam non stop. Dan hasil dari transkrip do’a untuk beragam tokoh dari beragam profesi dan pekerjaan maupun latar belakang budaya serta etnis itu, kini siap launching dalam bentuk “Kitab MA HA IS MA YA” dan kata penyusunnya ditaksir sekitar 300-an halaman.

“Kesaksian Perjalanan Pengembaraan Spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu” yang nyaris rampung disunting kembali dari hasil tulisan atau liputan selama 6 tahun kepungkur itu, bisa diperkirakan 3 x 4 x 12 x 6 sama dengan 864 artikel. Bila untuk satu artikel minimal 3 halaman, maka naskah buku yang sudah dirancang berjudul “Kesaksian Perjalanan Pengembaraan Spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu” ini setidaknya berjumlah 864 x 3 halaman akan menjadi 432 halaman ketik normal. Hingga untuk dijadikan satu buku yang diterbitkan berikut ilustrasi gambar dan pengantar serta sambutan, minimal bisa menjadi genap 500 halaman.

Padahal, informasi yang diperoleh dari tim pendataan Atlantika Institut Nusantara jumlah naskah yang terhimpun khusus yang berkaitan dengan masalah Spiritual sudah terkumpul sekitar 1.200 artikel. Tentu saja, sangat mungkin dari sejumlah artikel tentang spiritual sebanyak ada saja diantaranya yang tidak perlu dipaksakan harus ikut masuk dalam buku kumpulan tulisan tersebut. Kecuali itu, rencana penerbitan kumpulan tulisan tentang kesaksian ini semula memang diharap dapat terbit pada 1 April 2025 lalu. Namun akibat “paceklik” yang ikut mencekik kondisi ekonomi di Indonesia, minimal sejak 3 tahun terakhir, rencana yang akan sangat membahagiakan itu jadi tertunda sampai waktu yang belum bisa dipastikan kelanjutannya.

Walaupun kawan yang mau berbaik hati untuk mendanai penerbitan buku kumpulan tulisan tentang kesaksian ini, sudah membuktikan niat baiknya dengan memenuhi modal kerja pelacakan naskah, pengumpulan serta melengkapi persyaratan untuk sebuah penerbitan buku, hingga merancang bermacam model sampul hingga tata kat out, itu sudah lebih dari cukup membahagiakan. Setidaknya, hasrat untuk menjadikan buku itu sebagai wujud dari batu nisan yang kelak dapat diziarahi oleh siapa saja yang kangen kepada sang penulis kesaksian ini, dapat lebih monumental sifatnya sebagai penanda bahwa sang penulisnya pernah hidup pada suatu masa, dimana kepedulian hampir semu orang sudah memudar.

Banten, 10 September 2025/Gn7.c-

By Admin7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *