Gemanusa7. com-Saya suka dengan nasehat Uda Rizal Tanjung yang selalu memberi perhatian terhadap paparan dan ungkapan saya, termasuk kegundahan antara kecemasan dan kegembiraan ketika Denny JA dipercaya menjadi Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi yang belum resmi karena acara syukurannya belum dilakukan. Setidaknya dari bahasa kekhawatiran bisa berubah menjadi kultus — kata sifat kecemasan berubah menjadi kata sifat mendewakan seperti telah menjadi perilaku sirik dalam khazanah sastra mutakhir yang dihembuskan angin Sumatra Barat ke Jawa Barat.
Rupanya, begitulah kedahsyatan tiupan angin (badai) sastra agar bangunan lama runtuh untuk membangun konstruksi seni yang lebih bagus — kalau tidak bisa dikatakan hendak menghebohkan jagat sastra Indonesia yang lesu, seperti kurang gizi dan berdarah rendah. Juga ada bagusnya sergahan tulisan diatas untuk menunjukkan bahwa kehidupan sastra Indonesia — yang kini tampak diambil alih oleh puisi esai — baik-baik saja, seakan tidak sedang keletihan atau sakit parah, sehingga ekspresi yang lebih bersifat personal bisa diklaim sebagai kritik sastra. Padahal, pokok soal yang sedang dibicarakan dalam “Kecemasan dan Harapan” dengan terpilihnya Denny JA — sebagai pengasuh puisi esai — karena mendapat beban jabatan yang baru sebagai Komut Pertamina Hulu Energi itu semacam kegusaran belaka tak ada muatan kritik sastra, kalau ada cuma sebatas kepada sastrawan atau pelaku atau pegiat sastranya semata. Jadi pengasuh sastra entah sejak kapan bisa sembelit begitu rupa pencernaannya hingga dapat disebut kritik sastra.
Tapi tak apa, toh jaman sedang jungkir balik seperti aparat penegak hukum justru yang kini banyak melanggar hukum. Termasuk kepiawaian untuk menjustifikasi diri sebagai wartawan senior maupun akademisi — dalam istilah Uda Rizal Tanjung disebut kultus intelektual — yang memalukan. Meski begitu, saya lebih sepakat dengan kalimat sarkastiknya yang memalukan itu. Sebab saya menduga pada jaman yang telah jungkir-balik sekarang ini, ternyata masih tersisa rasa malu di hati Uda yang semakin menipis itu.
Saran dan petuah Uda Rizal Tanjung sungguh membuka kenangan pada Datuk saya di kampung dulu yang selalu agar lebih pandai menakar diri. Minimal untuk tidak mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh orang lain. Sebab pepesan fitnah itu lebih kejam dan keji dari niat buruk untuk membangkitkan Perang Dunia ketiga, seperti pembantaian yang terjadi di Palestina.
Minimal, saya tidak pernah mengatakan bahwa genre sastra lahir dari satu rahim nenek moyang siapa pun, dan tidak pernah mengklaim bahwa puisi esai sebagai temuannya Denny JA. Jadi, manipulasi dari bilik sastra Indonesia pun sudah sangat akut. Bayangkan, manipulasi dari judul yang saya tulis secara terang benderang menyebutkan bahwa : Kecemasan dan Harapan Terhadap Denny JA Sebagai Pengasuh Puisi Esai Yang Dibebani Oleh Jabatan Yang Baru, pun sudah dikorup.
O, amboi, betapa malangnya hidup di negeri yang kacau balau ini, kalimat untuk judul tulisan pun dalam khazanah sastra begitu teganya untuk dikorupsi. Lalu muncul semacam birahi manipulasi yang menambahkan pada judul itu, yang disakralkan. Maka itu jadi komplitlah sifat dan sikap kemusyrik dan munaf yang bertebaran di negeri ini.
Nasehat dan petuah kepada saya sebagai akademisi dan jurnalis pun terlalu gegabah dan berlebihan, karena saya sendiri tidak pernah menempelkan gelar apapun, termasuk juluk Datuk, Pangeran apalagi sekedar mengaku sebagai seniman — yang sesungguhnya esensi dari gelar atau julukan itu sendiri datang atau diberikan oleh pihak lain atau akademi, masyarakat adat dan keraton termasuk keluarga, seperti empat orang cucu saya yang memberi gelar Opa, Eyang, Kakek dan Opung. Dan saya sendiri pun tidak pernah menyebut diri saya sendiri sebagai Eyang Kakung dari Kanjeng Gusti Ratu Aqeela, cucu saya yang cantik. Dan ini perlu disebutkan agar semua pembaca bisa memahami bahwa saya pun bisa bersikap sombong dan jumawa.
Puisi esai pun tidak ada yang perlu diluruskan, sebab puisi esai sendiri tidak pernah ada yang membengkokkannya, seperti klaim yang lancang dilakukan, seperti hendak mengajarkan sejarah perkembangan sastra khususnya puisi esai sejak ada di bumi.
Hasrat untuk menerangkan sejarah dari keberadaan puisi esai — jauh sebelum kakek-nenek kami lahir, segera dapat dipahami semacam curhat guru sejarah yang baru mengalami sindrome karena dipecat untuk tidak lagi bisa tampil di ruang kelas. Karena itu curhatnya jadi ngelantur sampai puisi filsafat Khalil Gibran, puisinya Pablo Neruda hingga lirik sosial Bertolt Brecht. Sebab semua karya yang disebutkan tidak banyak jumlahnya itu, bukan sekedar dibaca dan dikaji sebatas narasi, tapi yelah diuji coba dalam bentuk drama pendek — Mimi kata — ketika diperkenankan oleh Wahyu Sulaiman Rendra di Yogyakarta pada antara tahun 1970 hingga 1980-an. Itu pun, tidak pernah diaku-aku sebagai narasi puisi esai yang bernyali.
Denny Januar Ali sebagai pengasuh puisi esai memang realitas adanya begitu. Sebab sepengetahuan saya, belum pernah muncul sosok yang lain — termasuk dari Sumatra Barat sendiri — tokoh yang mau mengorbankan banyak waktu, tenaga dan bahkan dana seperti yang telah menyelenggarakan sejumlah acara termasuk membiayai buku kumpulan puisi dan sejumlah karya tulis yang tak jauh berpaut dengan sastra, khususnya puisi esai yang cukup gegap gempita membangunkan tidur lelap pada sastrawan dan calon sastrawan besar Indonesia di masa depan.
Itulah sebabnya saya cemas, sebagai pesuntuk karya sastra, seperti apapun bentuknya. Tak hanya sebatas karya sastra Indonesia yang sudah terbilang modern, tapi sampai gurindam 12 karya Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat, Riau Kepulauan (sekarang), hingga pujangga baru yang dipelopori Amir Hamzah yang diakui sebagai Raja Penyair Pujangga Baru satu angkatan Sutan Takdir Ali Syahbana, Armin Pane, Idrus hingga Buya Hamka, saya suka. Apalagi semasa Presiden Penyair Sutardji Qalzoum Bachri.
Kira-kira begitulah kurang lebihnya kecemasan saya yang berbaur kegembiraan ketika mendengar Denny JA dipercaya untuk memangku jabatan yang berbasis dan penting di Pertamina. Namun kecemasan itu dapat dikompromikan dengan kegembiraan serta harapan, hasil yang diperolehnya kelak bisa menambah nilai hibah yang telah diinvestasikan Denny JA pada beragam aktivitas dan kegiatan yang bernilai sosial, moral dan spiritual semata untuk ikut mencerdaskan generasi yang kelak akan mewarisi masa depan negeri ini. Begitulah, do’a dalam harapan saya yang sangat menyukai karya sastra.
Banten, 11 Juli 2025/Gn7.c-