Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

Kemarin, Rabu, 2 Juli 2025, Swaranusa7. com-Roy Suryo, dokter Tifa, Rismon Sianipar, Rizal Fadilah, dan Kurnia Tri Royani tak datang ke Mapolda Metro Jaya. Mereka diundang untuk klarifikasi atas laporan sejumlah Termul alias ternak Mulyono karena mempersoalkan ijazah Jokowi.

“Kami sudah putuskan tidak hadir. Undangan klarifikasi tak dikenal dalam KUHAP. Lagi pula, para pelapor itu tidak punya legal standing. Mereka sama sekali tak ada kaitannya dengan ijazah Jokowi,” kata pengacara Ahmad Khozinudin, Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis.

Memamg ada yang perlu diluruskan dari cara aparat memperlakukan para pahlawan itu. Seperti kata Khozinudin,
undangan klarifikasi bukan panggilan wajib secara hukum. Tidak ada satu pun pasal dalam KUHAP yang mewajibkan seseorang memenuhi undangan klarifikasi. Ini penting, agar publik tidak terjebak oleh narasi-narasi yang menyesatkan, seolah-olah yang tidak hadir itu mangkir. Mereka bukan mangkir. Mereka menggunakan hak konstitusional untuk tidak mengikuti prosedur yang cacat.

Para Termul itu memang tidak berkaitan langsung dengan substansi riset maupun aktivitas akademik. Mereka adalah Andi Kurniawan, Kapri Yani, Lechumanan, Karim Rahayaan, Samuel Sueken, serta dua kelompok yang mengatasnamakan Pemuda Patriot Nusantara dan Peradi Bersatu.

Jangankan jadi korban, jadi saksi pun tidak. Tapi polisi langsung memproses laporan mereka. Ini sangat kontras dengan banyaknya laporan masyarakat atas korupsi atau pelanggaran berat lainnya, yang justru lamban atau bahkan dipetieskan.

Inilah potret buruk penegakan hukum di era Jokowi. Ada kesan kuat bahwa hukum dipakai sebagai alat represi. Bukan sebagai sarana keadilan.

Klarifikasi atau Interogasi

Yang juga mengkhawatirkan, undangan klarifikasi selama ini telah disulap jadi alat interogasi. Bukan sekadar tanya jawab ringan. Tapi pemeriksaan mendalam sejak pagi hingga malam. Ini pernah dialami Roy Suryo dan kawan sebelumnya. Ini bukan klarifikasi, tapi sudah menjurus ke intimidasi. Padahal KUHAP tak pernah mengenal mekanisme “klarifikasi” sebagai prosedur resmi dalam proses pidana.

Apakah polisi telah menggunakan jalur non-prosedural untuk menekan para pengeritik? Bila benar, undangan klarifikasi telah menjelma jadi instrumen teror psikologis. Ini sangat serius. Ini pelanggaran HAM. Tidak boleh dibiarkan.

Kalau mekanisme seperti ini diteruskan, bukan mustahil besok-besok siapa pun yang berani buka suara akan dipanggil klarifikasi. Duduk 12 jam di depan penyidik. Ditekan dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Ini represi, bukan penegakan hukum.

Yang sangat menggembirakan, di tengah tekanan, justru dukungan masyarakat terhadap Roy Suryo dkk semakin meluas. Dalam tiga hari terakhir sebelum agenda klarifikasi, bertebaran ajakan di media sosial untuk mengawal proses hukumnya. Poster, video, dan meme bsrseliweran di grup-grup WA dan aneka platform sosial media. Warga merasa ini bukan lagi sekadar urusan Roy Suryo, tapi menyangkut masa depan bangsa. Apakah kebohongan harus dibiarkan berjaya?

Karena itu, keputusan untuk tidak menghadiri klarifikasi bukan kemunduran. Justru bentuk perlawanan bermartabat terhadap penyalahgunaan hukum. Tim advokasi juga telah menggelar konferensi pers secara terbuka. Diliput banyak media nasional dan para youtuber.

Jangan Mau Ditakut-takuti

Publik jangan mau dibungkam oleh narasi klarifikasi yang menyesatkan. Jangan takut jika aparat menyalahgunakan hukum untuk menekan suara kebenaran. Pada konteks ini, rakyat berhak tahu siapa pemimpin mereka. Ijazah palsu bukan sekadar soal dokumen. Ini soal legitimasi. Soal moralitas. Soal masa depan bangsa.

Perjuangan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dokter Tifa, Rizal Fadilah, Kurnia dan banyak aktivis lain adalah perjuangan kita semua. Dan percayalah, kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Jakarta, 3 Juli 2025/Gn7.c-

By Admin7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *