Gemanusa7. com-Ungkapan singkat yang memuat nasehat, petuah atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada generasi berikutnya secara berkelanjutan disebut sebagai pepatah yang menggunakan bahasa lugas, singkat dan padat serta penuh makna yang dalam untuk direnungkan sebagai pegangan hidup dalam menghadapi tantangan. Karena itu, pepatah dapat memberi semangat hidup yang gigih, ketekunan yang ajeg (konsisten) hingga sikap dan sifat yang tangguh menghadapi berbagai persoalan yang dapat dijadikan pegangan.
Pepatah dapat dikatagorikan sebagai sastra lisan — yang nyaris tidak pernah tertulis — kecuali untuk motto dari sebuah lembaga atau instansi tertentu yang menjadikannya sebagai semboyan untuk kelompok, masyarakat atau suatu lembaga dan instansi yang hendak mewujudkan dengan cara atau maksud yang terkandung dari pepatah yang dijadikan motto tersebut. Atas dasar itulah, pepatah memiliki peran penting dalam membentuk atau membangun suatu budaya seperti yang termuat di dalam pepatah tersebut sebagai pedoman dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Lantaran itu kandungan filsafat dari pepatah yang dijadikan motto atau pegangan hidup ini memiliki nilai spiritual yang tinggi.
Esensi dari pepatah yang mengatakan “lebih baik menyalakan cahaya dari pada meratapi kegelapan” sungguh meyakinkan bahwa akan lebih baik berbuat — sekecil apapun — daripada hanya mengeluhkan atau mengkritik situasi kegelapan tersebut. Karena dengan menyalakan cahaya yang sekecil apapun lebih bersifat konstruktif untuk melakukan perbaikan menuju perubahan yang lebih baik, meski dengan cara yang sangat lambat. Sebab dengan melakukan keluh kesah atau kritik sekeras apapun tidak lebih baik daripada melakukan usaha menyalakan cahaya meski sekerlip lilin di kelam sunyi, seperti yang dikatakan penyair Chairil Anwar dalam karya puisi “Do’a” yang pernah ditulisnya semasa berjaya.
Syahdan, menurut para cerdik cendekia, pepatah akan mengajarkan kepada siapa saja yang ingin mengambil inisiatif positif untuk memperbaiki keadaan menuju perubahan. Kecuali itu, pepatah dapat menuntun cara bertindak yang konstruktif — tidak merusak — seperti pepatah yang menyebut “menarik rambut yang terbenam di dalam adonan”. Dalam pepatah “lebih baik menyalakan cahaya daripada meratapi kegelapan” jelas esensinya mengajarkan kepada setiap orang yang mau memahami dan melakukannya bahwa pilihan sikap untuk lebih proaktif, konstruktif dan inisiatif yang nyata untuk melakukan perubahan yang lebih baik — positif — adalah pilihan bijak yang sepatutnya dilakukan.
Pepatah umumnya bermakna universal. Karena, pepatah tidak dimonopoli oleh suku bangsa tertentu, tidak hanya di Nusantara, tidak pula di Indonesia sekarang atau bahkan oleh bangsa yang ada di dunia. Sebab pepatah itu bertumbuh dari kebijakan dan pengalaman hidup setiap suku bangsa yang ada untuk diwariskan sebagai “jimat” selamat, kemudahan hidup serta pencapaian keharmonisan dalam kebahagiaan yang diinginkan.
Salah satu pepatah Jawa yang paling populer dan banyak dijadikan pegangan adalah “Nrimo ing panduan”, artinya menerima apa adanya atas kehendak Allah. Namun sebagai manusia harus tetap usaha serta berupaya untuk meraih yang terbaik dan yang dianggap sempurna. Kendati kesempurnaan yang sejati itu hanya milik Allah.
Atau ada pepatah lain yang menyebutkan bahwa “urip iku urup” maksudnya adalah bahwa hidup itu harus memberi dan mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Jadi hidup itu harus memiliki tujuan dan bermakna dalam bentuk kontribusi yang positif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat hingga bangsa dan negara. Begitu juga relevansinya dengan pepatah “alon-alon asal kelakon” itu menekankan pada kesadaran terhadap kesadaran, meski lambat yang penting tercapai, tidak gagal hingga bisa menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Sama seperti pepatah Sunda yang terkesan lebih santai, yaitu “hirup mah kudu jadi jalma nu manfaat keur batur, lain jadi jalma nu jadi beunghar tapi ku nafsu”.
Atau pepatah Sunda lain yang mengatakan “Hade gede tangtu cageur, hade leutik tangtu Hade” makna jelas mengajarkan betapa pentingnya melakukan kebaikan sekecil apapun dalam segala hal, baik besar maupun kecil, karena kebaikan akan berdampak positif pada diri sendiri dan orang lain.
Dalam masyarakat Lampung ada yang disebut Fi’il pesengiri yang sangat memperhatikan rasa malu dan harga diri. Begitulah pentingnya menjaga rasa malu dan harga diri dalam segenap perilaku serta berinteraksi dengan orang lain yang identik dengan pepatah suku bangsa Bugis Makasar yaitu “Siri na pacce”. Pepatah Bugis ini mengajarkan tentang kehormatan dan harga diri serta perilaku sopan santun dan hormat terhadap siapapun. Karenanya, orang Bugis — seperti juga orang Lampung — tak suka mengganggu serta tak pula suka diganggu. Begitulah pepatah yang membentuk karakter, meskipun konsepsi awalnya pepatah itu sendiri berasal dari karakter bawaan sejak turun temurun.
Di tanah Batak pun ada pepatah “Dalihan na tolu”, adanya tiga tungku sebagai sandaran hidup, yaitu : haluhunta ( hubungan kekerabatan dan keluarga, dongantanta (hubungan persahabatan dan komunitas), paribananta ( hubungan dengan orang lain atau masyarakat yang lebih luas) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga “Dalihan na tolu” merupakan konsep yang sangat penting sehingga menjadi pegangan hidup sehari-hari. Karenanya, dalam tata pergaulan dengan suku bangsa Batak nuansa kekeluargaan jadi terkesan sangat menyenangkan. Lalu pepatah Batak yang lebih sakral seperti ungkapan “Tondi Mardongan Tondi”, yang artinya adalah roh yang satu bersama dengan roh yang lain. Adapun maknanya mengajarkan betapa pentingnya untuk memahami dan menghormati hubungan manusia dengan ruh dalam dimensi spiritual yang lebih bersifat religius.
Pepatah dalam berbagai suku bangsa Nusantara s
hingga Indonesia merdeka tetap terpelihara baik dari generasi ke generasi berikutnya, seperti pepatah Aceh yang mengatakan “Adat bak poteu Meureuhom, hukom bak Syech Abdurrauf”. “Bumi anak sakato” atau “Wong kita galo dari Palembang. “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” dari Minangkabau, “Tri hita karana dari Bali. *Tatujue kawin, tatujue meli dari Lombok. Bahkan dalam masyarakat Badui ada pepatah “Huma adalah hate”, atau “Kecut pinuh, hate pinuh” dan dalam masyarakat Dayak pun ada pepatah “Ate putih, ate kenyah”, atau “Oloh-oloh nyahu, nyahu Oloh-oloh.
Artinya, pepatah dalam adat, tradisi dan budaya suku bangsa Nusantara menyiratkan bahwa sejak jaman dahulu kala sudah memiliki pedoman hidup yang mengatur tata cara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Dan agaknya lantaran ikatan dan hubungan manusia yang erat menyadari keterikatan dirinya dengan alam dan Sang Pencipta, bangsa Nusantara yang telah meng-Indonesia tetap relevan disebut bangsa yang sungguh religius. Begitulah, betapa pentingnya memahami dan menghayati serta mengaplikasikan pedan-pesan moral, spiritual hingga adat istiadat dalam tata pergaulan bermasyarakat dalam hidup dan kehidupan sehari-hari yang semakin komplek dan ruet.
Banten, 1 Juli 2025/Gn7.c-