Gemanusa7.com-Dendam sosial yang bisa menimbulkan sikap serakah dan kemaruk, karena dihantui oleh masa lalu yang kelam. Entah dalam keluarga semasa kecil atau pun setelah dewasa dan membangun rumah tangga sendiri. Begitu juga dalam varian yang lain, akibat selalu bergelimang dalam kemanjaan dan kemewahan, bisa membuat orang tidak memiliki sensitivitas empati, kepedulian atau solidaritas, karena terlanjur terbiasa menerima perlakuan dan pelayanan tanpa pernah menyadari bahwa memberi itu daripada menerima. Sebab esensi dari cinta kasih itu adalah memberi. Sedangkan makna dari menerima adalah semacam lega lila untuk menghadapi kondisi yang terburuk atau yang tidak mengenakkan secara lahir maupun batin.
Dalam konteks inilah capaian spiritual yang ditekuni dan terus dilakukan menjadi perlu dan penting. Seperti melalui puasa dan tirakat untuk membangun ketahanan diri yang tangguh dan sabar dari gempuran beragam masalah hingga tidak tergoyahkan. Maka itu esensi puasa sebagai bagian dari laku spiritual diperlukan untuk memperkukuh batin menahan lapar dan haus tidak dalam arti fisik belaka, tetapi untuk lebih jauh memahami perluasan wilayah batin yang tidak terukur itu dalam dimensi apapun.
Agaknya seperti itulah makna dari langit di dalam dan langit diluar bersatu dalam jiwa, ungkap sastrawan Wahyu Sulaiman Rendra dalam penggalan sajaknya. Keseimbangan jiwa dan raga dalam pertautan batin dan emosional serta hasrat yang mampu dijinakkan, agar tidak liar dan nggragas menjadi tamak dan rakus tidak hanya dalam pengertian material tapi juga dalam dimensi yang sakral, yaitu spiritual.
Dendam sosial yang bisa muncul dari masa lalu yang kelam dan penuh luka, bisa juga disebabkan oleh suasana manja yang berlebihan atau kemewahan yang membunuh empati yang selayaknya menjadi bagian dari perisai diri. Oleh karena, penempaan diri melalui pengembaraan spiritual diperlukan untuk memperoleh panorama hidup yang lebih segar, untuk melengkapi taman batin yang bertumbuh subur menggairahkan dalam cinta kasih untuk terus berbagi tanpa perlu berharap pada imbalan atau balasan. Maka itu, hakikat keikhlasan — tawaduk — dalam perspektif spiritual menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan.
Pada akhirnya hasrat untuk menempatkan diri dalam posisi yang paling tepat dihadapan Tuhan, terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya serta alam lingkungan bisa harmoni, meski tak harus dalam irama simfoni yang mengagumkan. Sebab dari semua bentuk pementasan dan penampilan di panggung apapun namanya, bukan tepuk sorak yang diperlukan, tetapi eksistensi dari memaknai kehadiran agar memiliki arti dalam hidup yang fana ini. Karena hidup itu sendiri tidak abadi, yang ada hanyalah jejak yang bisa diikuti dan dikenang setelah pementasan berlalu dan selesai. Jadi beragam bentuk pementasan atau bahkan pameran serta konser sekalipun, bukanlah sekedar tontonan atau penghiburan belaka, tatapi juga sebuah permenungan yang bisa dibawa pulang oleh setiap orang yang menyaksikannya. Inilah makna dari hiasan batu nisan keabadian itu, agar ziarah spiritual dapat dilakukan oleh siapa saja setelah batin dan jiwa sang seniman berada di alam barzah.
Pantai Dadap, 28 Juni 2025/Gn7.c-